Untuk tiga tahun secara beruntun, tidak ada pemain Malaysia yang mampu masuk ke daftar 50 Pemain Terbaik Asia. Dengan sedikitnya pemain berbakat yang muncul belakangan ini, sepertinya situasi ini tidak akan berubah dalam waktu dekat.
Berikut 5 alasan tersebut :
1. Para pemain Malaysia tidak cukup bagus
Kenyataan memang menyakitkan (bagi
Malaysia, tentu), tapi memang pada dasarnya tidak ada pemain Malaysia yang cukup bagus untuk dipertimbangkan masuk daftar 50 Pemain Terbaik Asia.
Setelah sebelumnya FourFourTwo memberikan lima pemain Malaysia yang bisa menjadi kandidat untuk masuk daftar kami pada tahun lalu, kali ini, kami merasa kami perlu kembali ke realita.
Sementara negara tetangga,
Thailand, terus tampil baik di level regional maupun internasional, dan sebagai hasilnya ada empat pemain mereka di daftar kami tahun ini, satu-satunya hal menyenangkan bagi Malaysia di tahun 2016 lalu adalah kemenangan atas Timor Leste di
play off kualifikasi Piala Asia.
Tetapi kemenangan itu didapatkan dari negara yang biasa dikalahkan Malaysia selama bertahun-tahun.
Thailand, misalnya, bisa memainkan 11 pemain yang lebih baik daripada Harimau Malaya di setiap posisinya, sementara negara-negara lain seperti
Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Myanmar telah mengalami kemajuan dalam beberapa tahun terakhir.
2. Tidak memikirkan pentingnya sepakbola level internasional
Dua anggota panel ahli kami menominasikan Safiq Rahim sebagai kandidat dari Malaysia di daftar mereka, tetapi hanya itu yang bisa ditawarkan Malaysia bagi daftar kami di tahun 2017 ini.
Sebagai perbandingan, ada empat pemain Vietnam, dua dari Myanmar, dua dari India, dan satu pemain Kamboja mendapatkan suara dalam proses penilaian internal kami.
Eks kapten Malaysia, Safiq Rahim, bisa dibilang merupakan pemain terbaik di generasinya, dan ia pun selangkah lebih maju daripada rekan-rekan senegaranya, tetapi keputusannya untuk pensiun dini dari tim nasional sepertinya malah berefek buruk baginya.
Safiq dan tiga rekan setimnya di Johor Darul Ta’zim (JDT) – Aidil Zafuan Abdul Radzak, S.Kunanlan, dan Amirul Hadi Zainal – membuat keputusan yang sangat mengejutkan dengan pensiun pada Juli lalu, yang membuat mereka tidak bisa bermain untuk Malaysia di AFF Suzuki Cup 2016.
Padahal, turnamen itu adalah kesempatan bagi Safiq untuk menantang pemain-pemain terbaik di Asia Tenggara. Ia menjadi top skorer di turnamen tahun 2014 lalu, setahun sebelum FourFourTwo pertama kali mengumumkan 50 Pemain Terbaik Asia untuk pertama kalinya.
Pekan ini, Safiq dan sejumlah rekannya sepertinya akan membatalkan keputusan itu, dan mereka masuk dalam skuat pertama pelatih anyar The Tigers, Nelo Vingada, tetapi ini terlalu terlambat untuk bisa mempengaruhi penilaian kami untuk daftar 50 Pemain Terbaik Asia.
Sementara bagi para pemain Malaysia lainnya, performa timnas mereka tidak bisa membantu mereka menjadi kandidat kami.
Mampu membuat lawan kuat di kualifikasi Piala Dunia, Arab Saudi, hanya bisa menang 2-0 di Dammam memang cukup bagus, tetapi Harimau Malaya seperti kekurangan ide dalam laga persahabatan yang berakhir imbang melawan Myanmar dan Macau - negara yang disebut terakhir adalah timnas dengan posisi terendah kedua di ranking FIFA.
Tur Oseania mereka pada Juni lalu hanya menghasilkan satu kemenangan, sementara timnas Indonesia yang menjalani pertandingan internasional pertama mereka sejak sanksi FIFA dicabut mampu mengalahkan mereka dengan skor 3-0 di Solo pada September lalu.
Absennya sembilan pemain yang seharusnya bisa menjadi starter di AFF Suzuki Cup, sebagian tanpa alasan jelas, membuat Malaysia seperti memang ditakdirkan akan tereliminasi dengan cepat di babak grup.
Mereka kalah dari Vietnam dan Myanmar, dan hanya menang tipis 3-2 atas Kamboja, untuk akhirnya finis di posisi ketiga di grup mereka.
3. Minim Ambisi
Malaysia Super League (MSL) sudah jelas memiliki level di bawah standar liga-liga Jepang, Korea, Australia, Eropa, dan bahkan Thai Premier League.
Berkarier di luar negeri bukanlah hal baru bagi pemain-pemain Malaysia, yang sebagian sudah pernah merasakan berkarier di negeri orang di masa lalu, tetapi pendekatan ini sepertinya sedang mengalami kemandegan karena beberapa alasan.
Presiden Football Association of Malaysia (FAM), Tunku Ismail, yang baru menjabat Maret lalu, pernah mengatakan pemain-pemain Malaysia terlalu nyaman di negeri sendiri dan karenanya mereka tidak mau bermain di luar negeri.
Nazmi Faiz Mansor pergi ke Portugal pada 2012 lalu, tetapi akhirnya memutus kontraknya hanya enam bulan setelah bergabung karena alasan finansial. Ahmad Fakri Saarani adalah pemain lain yang pernah berkarier di Portugal dalam beberapa tahun terakhir.
Beberapa alasan yang membuat banyak pemain lebih memilih bertahan di Malaysia ketimbang menantang sepakbola luar negeri adalah karena gaji tinggi di dalam negeri, lingkungan yang familiar, cuaca, dan juga makanan.
4. Menganggap remeh kompetisi level Asia
Liga Champions Asia dan Piala AFC adalah turnamen lainnya yang bisa dimanfaatkan oleh para pemain Malaysia untuk mengetes kemampuan mereka menghadpai pemain-pemain terbaik di benua ini dan meraih posisi di FFT Asia 50.
image: https://video.unrulymedia.com/native/opt-out-icon2.png

Namun dengan tidak adanya peluang otomatis lolos ke Liga Champions untuk klub-klub Malaysia, sulit bagi mereka untuk bisa mengalahkan lawan-lawan mereka dari Asia Timur di babak terakhir kualifikasi dan lolos ke fase grup.
JDT memang mampu mencapai semifinal Piala AFC tahun lalu, setelah secara heroik memenangkan turnamen itu pada tahun 2015 lalu, tetapi ada perasaan tidak puas karena harus gagal untuk mencapai setidaknya final turnamen level dua Asia ini untuk kedua kalinya secara beruntun.
Perubahan format di tahun 2016 membuat klub-klub Asia Timur dan Asia Barat akan terpisah jalur hingga bertemu di final. JDT adalah tim terbaik di Asia Timur di babak grup dan merupakan tim yang ingin dihindari oleh tim manapun di fase gugur.
Namun mereka seperti kehabisan energi ketika harus menghadapi Bengaluru di fase empat besar meski mampu mengalahkan tim asal India tersebut di babak sebelumnya.
Selangor pun meraih hasil buruk di turnamen ini, di mana mereka gagal untuk bahkan melewati fase grup. Selain JDT, klub-klub Malaysia seperti tidak menganggap serius Piala AFC.
Meski ini terdengar aneh, tetapi memang ada manajemen klub yang menganggap Piala Malaysia - sebuah turnamen bersejarah namun tak membuat sebuah klub lolos ke level Asia - lebih penting daripada Piala AFC, secara nilai maupun prestise.
Pahang dan Selangor, misalnya, diketahui biasa memainkan tim yang lebih lemah di Piala AFC dalam beberapa tahun terakhir.
5. Pengembangan pemain muda? Masih lama hasilnya
Sementara segalanya seperti berjalan di tempat, Malaysia kini memilih untuk meletakkan semua usaha mereka untuk pengembangan pemain-pemain mereka generasi berikutnya di satu keranjang yang sama.
Investasi besar telah ditanamkan untuk National Football Development Programme (NFDP) sejak 2014 lalu, sementara klub-klub MLS memilih untuk mengabaikan usaha pengembangan pemain muda mereka sendiri.
Masih perlu beberapa tahun lagi sebelum para pemain muda di NFDP akan berkembang menjadi pemain-pemain profesional dan mewakili Malaysia. Salah satu target awal program ini adalah lolos ke Piala Dunia U-17 2019 mendatang.
Malaysia hampir lolos ke turnamen tersebut pada tahun 2015 lalu, tetapi para pemain seperti Dominic Tan, Kogileswaran Raj, dan Najmuddin Samat, sejauh ini belum mampu mengembangkan potensi besar mereka. Walau di sisi lain, mereka masih punya banyak waktu untuk membuktikannya.
Kita masih harus melihat apakah NFDP bisa memperbaiki peruntungan sepakbola Malaysia di masa depan, tetapi klub-klub domestik pun sebetulnya perlu berperan penting dengan mulai berinvestasi pada pengembangan pemain muda, untuk keuntungan semua pihak - dan untuk memunculkan harapan bahwa suatu hari nanti, kita bisa melihat ada pemain Malaysia di daftar 50 Pemain Terbaik Asia.
sumber : 442